Durhaka pada orangtua adalah dosa besar. Tema tersebut telah menjadi topik andalan dalam berbagai kesempatan dari masa ke masa. Baik khotbah jum’at, saat tarawih, kultum shubuh, dan lain sebagainya. Intinya, tema ini memang tidak pernah lekang oleh waktu.
Faktanya, tema ini bertumbukan dengan realita yang ada. Sebuah realita yang miris yang membuat hati seolah teriris, yaitu banyak sekali anak yang durhaka kepada orangtuanya.
Namun seperti kata pepatah, ada asap ada api. Artinya, segala sesuatu pasti memiliki sebab. Dalam kaitannya dengan sikap durhaka anak kepada orangtua, salah satu penyebabnya justru adalah sikap ‘durhaka orangtua terhadap anak’. Seperti yang terjadi di zaman Khalifah ‘Umar ibn Khaththab radhiallahu ‘anhu.
Seseorang pernah datang kepada ‘Umar ibn Khaththab radhiallahu ‘anhu dan mengadukan anaknya, “Anakku ini benar-benar telah durhaka kepadaku.”
“Apakah engkau,” kata ‘Umar ibn Khaththab kepada sang anak, “tidak takut kepada Allah dengan durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adalah hak orang tua,”
“Wahai Amirul Mukminin,” balas sang anak membela diri, “Bukankah anak juga punya hak atas orang tuanya?”
“Benar, haknya adalah memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang bagus, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran).”
“Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yang baik untukku. Ia menamaiku Ju’al. Dan dia juga tidak mengajarkan Al-Quran kepadaku kecuali satu ayat saja.” Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. ( Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).
‘Umar menoleh ke sang ayah dan berkata, “Engkau mengatakan anakmu telah durhaka kepadamu tetapi engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Enyahlah dari hadapanku!” ( As-Samarqandi, Tahbihul Ghafilin, 130)
Orangtua; Ganjaran Besar Tanggung Jawab Berat
“Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua.” (HR. Al Baihaqi)
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut telah familiar didengar kaum muslimin. Sebuah sabda yang menjelaskan agungnya kedudukan orangtua dalam agama.
Namun begitu, beberapa orangtua terkadang terlalu berlebihan dalam memahami hadits tersebut. Apapun yang terjadi, anak wajib taat pada orangtua, termasuk jika sang anak berusaha melaksanakan syariat dan orangtua di posisi yang salah, anak wajib taat pada orangtua. Ini tentu sebuah pemahaman yang keliru.
Islam adalah jalan hidup yang komprehensif, menyeluruh, syumul, termasuk dalam masalah ini. Islam tidak menghendaki kaum muslimin untuk menuntut hak saja, tanpa ada kewajiban yang berarti.
Dalam kasus ini, selain orangtua mendapat hak istimewa dari Allah Ta’ala berupa bakti dari anak, orangtua juga memiliki kewajiban besar, yaitu mendidik, mengayomi, dan memimpin anak dalam syariat-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungan jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan diminta pertanggungan jawab atas mereka.” {HR. Bukhari}
Baik tidaknya anak juga sangat tergantung dengan peranan orangtua mereka. Dalam sabda Nabi yang lain dijelaskan, “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi dan Nasrani.”{HR. Abu Dawud}
Dari situ secara implisit dapat dinyatakan bahwa faktor kedurhakaan bisa jadi timbul akibat didikan orangtua yang salah. Lantas, langkah apa yang harus dilakukan orangtua agar tidak tergolong sebagai orangtua yang durhaka?
Pendidikan Agama
Sudah menjadi rahasia umum, pendidikan agama menjadi sarana penting guna membentuk insan yang mulia dan berakhlak baik. Walaupun begitu, masih sangat banyak orangtua yang mengabaikan permasalahan ini.
Dalam pemilihan tempat pendidikan, Banyak orangtua yang lebih memilih menyekolahkan anakanya di sekolah bergengsi, berbau kebarat-baratan, yang di dalamnya cenderung mengesampingkan pendidikan agama. Agaknya, alasan pekerjaan di masa mendatang masih menjadi alasan klasik bagi orangtua dengan tipe seperti ini.
Namun melihat berbagai hal yang terjadi dewasa ini, berbagai alasan baru dikemukakan guna mengesampingkan pendidikan agama. Yang paling populer adalah orangtua tidak menginginkan anaknya terlalu fanatik pada agama yang berujung pada kegiatan terorisme. Astaghfirullah.
Sebuah konsep bahwa ‘semakin taat agama semakin besar peluang menjadi teroris’ agaknya benar-benar tertancap di kepala tiap orang dewasa ini, kecuali mereka yang dirahmati Allah Ta’ala. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Siapa yang mengabaikan edukasi yang bermanfaat untuk anaknya dan membiarkannya begitu saja, maka ia telah melakukan `tindakan terburuk terhadap anaknya itu. Kerusakan anak-anak itu kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” (Tuhfatul Maudud, I: 229)
Lingkungan
Tak pelak, baik buruknya lingkungan menjadi faktor penentu kadar keimanan seseorang. Hal ini dijelaskan dalam sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam,
“Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang saleh dan berkawan dengan orang jahat adalah seperti seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak wangi, dia mungkin akan memberikan kamu atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapatkan aroma harum darinya. Tetapi peniup dapur tukang besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu atau kamu akan mencium bau yang tidak sedap.” {Shahih Muslim No.4762}
Oleh karenanya, wajib kiranya orangtua mencarikan dan memandu anak dalam mendapatkan lingkungan yang baik. Hal ini seperti lingkungan di rumah maupun di sekolah. Dalam hal ini, hendaknya orangtua juga berperan sebagai ‘penjual minyak wangi’ bagi sang anak.
Teladan
Orangtua harus menjadi teladan, kapan pun dan dimanapun, bagi buah hati mereka. Ini sudah menjadi hal yang tak bisa ditawar, terlebih di zaman penuh kerusakan ini.
Namun faktanya, banyak orangtua kurang berhasil dalam hal ini. Contoh sederhananya, orangtua menyuruh anak mandi sedangkan mereka sendiri belum mandi dengan berbagai alasan, masih sibuk misalkan. Hal ini jelas menimbulkan citra negatif terhadap anak.
Orangtua terkesan inkonsisten antara perintah dan perilakunya. Mungkin hal ini bisa diterapkan pada anak tahun 1900-an. Tapi mengingat anak zaman sekarang cenderung kritis dan suka membantah, agaknya perilaku orangtua yang cenderung inkonsisten ini harus dihilangkan.
Masih terkait keteladanan. Banyak sekali anak pertama yang menginjak remaja dituntut menjadi teladan bagi adik-adiknya. Ini tentunya bukan hal yang mudah, mengingat masa remaja adalah masa pencarian jati diri, justru orangtua memberikan beban agar si anak menjadi teladan. Idealnya, orangtua tetap menjadi teladan, berapapun usia si anak.
Dalam beberapa kasus, anak dituntut agar bertindak sempurna, sementara orangtua hanya bertugas sebagai komentator. Hal ini terlihat jika si anak cukup aktif dalam kegiatan ke-Islaman. Saat si anak berbuat salah, tak jarang orangtua justru memberi komentar yang tidak membangun, seperti
“Percuma kamu ikut pengajian tapi akhlakmu…”,
“Katanya kamu pengurus Rohis, kok…”,
“Mending kamu nggak usah berjilbab jika kelakuanmu…”,
dan semacamnya.
Statement seperti ini sangat berpotensi merobohkan semangat menuntut ilmu agama si anak. Padahal sudah kita ketahui bersama, remaja yang belajar agama atas dasar kemauan sendiri sungguh sangat langka di tengah gempuran materialisme zaman ini.
Dalam hal ini, setinggi atau seaktif apapun anak dalam kegiatan ke-Islaman, orangtua tetaplah harus menjadi teladan. Tak peduli latar belakang orangtua yang bukan lulusan madrasah atau pesantren, beban untuk memberikan keteladanan tak akan lepas.
Ini adalah sebagian hak yang harus ditunaikan oleh orangtua terhadap anak. Ganjaran besar untuk orangtua, juga diimbangi dengan perjuangannya dalam mendidik anak hingga terbentuklah generasi Islami dan berakhlak. Bila tidak, sangat dikhawatirkan bila orangtua tersebut menjadi orangtua yang durhaka.
Kita banyak menemukan anak yang ingkar kepada orang tua. Kita kadang-kadang jengkel kepada mereka bila tidak pernah sejalan dengan kemauan orang tua.
Bila anak tidak mengerjakan perintah, otak kita yang telah terisi oleh akumulasi ilmu dan pengetahuan agama sejak anak-anak dahulu hingga sekarang menjadi orang tua, mungkin langsung memberikan perintah kepada tangan untuk memukul dan mulut untuk mengucapkan kata-kata makian, celaan dan umpatan.
Kondisi ini perlu diwaspadai bila tindakan dan ucapan dari perintah otak itu sudah turun ke hati dan menjadi sebuah keyakinan lalu memunculkan sebuah kesimpulan, bahwa sang anak telah durhaka kepada orang tua. Semoga tidak terjadi pada kita.
Anakku, mana baktimu? Statemen seperti ini kadang-kadang membangun pemahaman yang tidak berimbang pada orang tua. Mereka selalu menuntut agar hak agama ini terpenuhi dan bila tidak terpenuhi selalu anak yang disalahkan.
Memang benar, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban bagi anak dan durhaka kepada orang tua adalah salah satu dosa besar yang terbesar.
Tetapi jangan lupa bahwa Islam tidak melihat satu sisi saja lalu melalaikan sisi lain. Islam juga mewajibkan bagi orang tua untuk berbuat baik kepada anak-anaknya, dan juga tidak durhaka kepada mereka.
Seseorang pernah datang kepada Umar bin Al-Khaththab ra dan mengadukan anaknya, “Anakku ini benar-benar telah durhaka kepadaku.”
“Apakah engkau tidak takut kepada Allah dengan durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adalah hak orang tua,” kata Umar kepada sang anak.
“Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak atas orang tuanya?”
“Benar, haknya adalah memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang bagus, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran).”
“Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yang baik untukku. Ia menamaiku Ju’al. Dan dia juga tidak mengajarkan Al-Quran kepadaku kecuali satu ayat saja.” Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. ( Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).
Umar menoleh ke sang ayah dan berkata, “Engkau mengatakan anakmu telah durhaka kepadamu tetapi engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Enyahlah dari hadapanku!.” ( As-Samarqandi, Tahbihul Ghafilin, 130)
Ibnul Qayyim berkata, “Siapa yang mengabaikan edukasi yang bermanfaat untuk anaknya dan membiarkannya begitu saja, maka ia telah melakukan `tindakan terburuk terhadap anaknya itu. Kerusakan anak-anak itu kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” (Tuhfatul Maudud, I: 229)
Karena itu, jangan tergesa-gesa mencela anak. Ada banyak hak anak atas orang tuanya. Bila salah satu sisinya diabaikan, lalu anak menjadi bandel, menyimpang, dan keras kepala, ada kemungkinan kita tidak memperhatikan sisi tersebut.
Rasulullah saw bersabda:
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungan jawab atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya dan dia akan diminta pertanggungan jawab atas mereka.” (HR Bukhari dll.)
Saat Rasulullah saw melihat para shahabat yang telah rindu setelah lama di luar rumah, beliau bersabda kepada mereka:
ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَأَقِيمُوا فِيهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ
“Kembalilah kepada keluarga kalian dan tinggallah bersama mereka, ajarilah mereka dan perintahkan (untuk shalat).” (HR Bukhari)
Sebagai kepala keluarga, tugas di luar rumah adalah mencari rezeki dan bila ia pulang ke rumah melihat banyak kekurangan, hendaknya ia tidak menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri.
Ibu, sepanjang harinya bertarung dan mencurahkan segala upaya untuk memenuhi keinginan anak di rumah. Pemberian gizi yang baik, membangun fisik yang sehat, dan memenuhi nutrisi keimanan dalam hati mereka sejak kecil.
Mengajarkan bagaimana menghormati orang yang lebih tua, menanamkan cinta belajar sejak kecil, dan membekali dengan ilmu dan pengetahuan. Misalnya, menggunakan beberapa lafaz yang disarikan dari hadits Nabi saw yang berkaitan dengan etika, edukasi, dan moral.
Pergaulan yang baik, menghormati orang lain, tidak suka ikut campur dalam urusan yang tidak ada manfaat baginya, cara berbicara yang baik, misalnya bicara dengan suara yang rendah. Hal pertama yang harus dimulai sebelum ini semua adalah bagaimana menanamkan ikatan keimanan dengan Allah pada anak.
Senang sekali tentu sebagai orang tua melihat anak-anak yang sehat. Tetapi selain badan yang sehat, hati yang sehat tidak kalah penting. Sebab, pembentukan hati yang taat kepada Allah itu akan berpulang kepada kesehatan tubuh. Ingat firman Allah dalam al-Quran:
أَفَمَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى تَقْوَى مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ فَانْهَارَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Maka Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan Dia ke dalam neraka Jahanam.” (QS. at-Taubah: 109).
Belajar dari ayat ini, kalau boleh usul, slogan “Di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang sehat pula” itu bisa kita balik. Hati anak-anak dahulu kita bangun agar dari sini berdiri tubuh yang kuat. Sebab dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa bangunan yang berfondasi ketakwaan dan keridhaan dari-Nya itu tidak layak dibandingkan dengan bangunan di tepi jurang.
Kita hafal sekali bahwa anak harus dipukul bila telah berusia sepuluh tahun belum rajin shalat. Tetapi, jangan dilupakan sisi lain selain rutinitas fisik dengan rajin shalat. Hati mereka harus diwarnai dengan keyakinan bahwa shalat itu secara bahasa adalah hubungan antara dia dan Allah.
Bila ia punya keinginan, ia hendaknya berdoa kepada Allah saat sujud, dengan penuh ketundukan dan kehinaan di hadapan-Nya. Keyakinan inilah yang akan membakar semangatnya, menjadi lokomotif untuk semua gerakan tubuhnya.
Satu hal penting yang tidak boleh dilupakan, apalagi pada zaman yang penuh kerusakan ini, adalah mencarikan teman yang baik untuk edukasi anak-anak kita. Dan kita sebagai orang tua harus menjadi teman pertama dan terdekat bagi anak-anak kita.
Anak-anak sulit menjaga shalat bila ibu dan ayah tidak menjaganya. Meski dalam beberapa kasus bisa saja terjadi. Tetapi kita tentu tidak rela kan, bila hanya menjadi bapak biologis lalu bapak ideologisnya diserahkan kepada orang lain.
Imam Ghazali mengatakan, “Hal pokok dalam mendidik anak-anak adalah menjaga dari teman yang buruk.” (Ihya Ulummiddin, IV: 109).
Rasulullah bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ وَيُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi dan Nasrani.” (HR Abu Dawud)
Jadi, kitalah teman dekat pertama mereka yang sanggup mengubah menjadi muslim sejati—insya Allah—atau orang yang ingkar—wal iyadzu billah.
Sebagian anak tidak akan pernah lupa perlakuan buruk yang pernah mereka rasakan waktu masih kecil. Beberapa orang tua tega menghukum anaknya dengan pukulan yang menyakitkan atau ibu mengumpat anaknya dengan kata-kata yang membakar telinga.
Kekejaman seperti ini akan mengakar dalam pikiran anak dan membentuk perilaku suka memusuhi orang-orang di sekitarnya, termasuk orang tuanya. Psikologis yang buruk bisa mendorong anak berdusta karena takut dihukum.
Sekarang ini mungkin sulit menemukan orang tua yang memberikan nama yang buruk untuk anaknya yang baru lahir. Bahkan banyak referensi dikumpulkan, meminta tolong kepada ustad agar dipilihkan nama yang bagus dan islami. Tetapi, mengapa setelah anak tumbuh sehat dan gemuk, justru kita panggil dengan sebutan yang buruk?
Bahkan itu adakalanya tumbuh dari perasaan sayang. Karena anak yang gemuk dan lucu, kita memanggilnya si gendut. Masih kecil memang lucu dan secara umum tidak bermasalah. Tetapi, teman-temannya akan tetap memanggil itu sampai ia dewasa. Inilah salah satu faktor yang bisa membuat anak minder.
Masih banyak lagi hal yang perlu kita perhatikan agar kita tidak durhaka kepada anak agar anak kita tidak durhaka kepada cucu kita nanti.
Memperhatikan minat dan intelektual anak dalam urusan sekolah, tidak memperdengarkan keributan dengan istri kepada mereka, tidak membawa masalah kantor ke rumah dan banyak lagi tindakan yang harus dilakukan atau dicegah agar tidak menumbuhkan kebencian anak terhadap orang tua.
Semoga saja dengan segala upaya kita, Allah akan menumbuhkan generasi yang kuat rohani dan jasmani (maaf sengaja saya balik). Semoga kekhawatiran bila anak-anak kita lemah bisa memecut kita untuk berusaha lebih keras:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.” (QS. an-Nisa’: 9).
Tidak ada kelebihan yang menulis ini atas yang membaca, harapannya semoga Allah mengumpulkan kita semua di surga-Nya dan kita memperbincangkan kesuksesan mendidik anak-anak di sana.
Bila salah seorang tiba-tiba disematkan mahkota kemuliaan di kepalanya kelak —semoga kita termasuk di antara mereka— karena kebaikan anaknya, logika sederhananya tentu ada peran dari kita sebagai orang tua. Wallahu a’lam. (a.ahmad/alamislam.com)
Dalam sebuah hadits disebutkan, Seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin untuk jihad (fardhu kifayah). Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
“Apakah bapak ibumu masih hidup?” O itu menjawab, “Ya.” Maka kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah kamu berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari, Muslim)
Lihatlah bagaimana berbuat baik dan memberikan pelayanan kepada kedua orang tua lebih diutamakan daripada jihad!
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah aku beritahu kalian tentang dosa besar yang paling besar? Yakni menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.”
Lihatlah bagaimana Allah mengaitkan antara menyakiti kedua orang tua, tidak adanya bakti kepada mereka dengan dosa syirik kepadaNya.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim juga, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang durhaka (kepada kedua orang tua), orang yang menyebut-nyebut kebaikannya, dan yang kecanduan khamr.”
Advertisement